Minggu, 23 Oktober 2016

Butir-butir Pengamalan Pancasila

Berdasarkan ketetapan MPR No.II/MPR/1978

Ketuhanan Yang Maha Esa
  1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  2. Hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
  3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
  4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
  1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  2. Saling mencintai sesama manusia.
  3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
  4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
  6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Persatuan Indonesia
  1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
  2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
  3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.
  4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
  5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
  2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
  5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
  6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
  1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
  2. Bersikap adil.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak-hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
  6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak bersifat boros.
  8. Tidak bergaya hidup mewah.
  9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
  10. Suka bekerja keras.
  11. Menghargai hasil karya orang lain.
  12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Berdasarkan ketetapan MPR no. I/MPR/2003

Sila pertama

  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Sila kedua

  1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
  3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
  5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
  10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Sila ketiga

  1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
  3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
  4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
  5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
  7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila keempat

  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
  2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
  7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
  10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
Sila kelima

  1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
  8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  9. Suka bekerja keras.
  10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
  11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Rabu, 12 Oktober 2016

Filsafat Menurut Immanuel Kant



TUGAS FILSAFAT PENDIDIKAN

NAMA : SEPTIAN RIZKI

NIM : 2285160022


1.      Apa yang dapat saya harapkan (What my I hope) ?
Setiap manusia pasti mempunyai harapan, manusia tanpa harapan berarti dia mati dalam hidupnya.  Harapan  itu  sendiri sering disebut dengan Visi atau Misi yang artinya sesuatu yang ingin di capai. Namun terkadang Visi atau Misi tersebut ada yang tercapai dan ada yang tidak tergantung dari usaha kita. Sama seperti manusia UNTIRTA sebagai instansi tentu memiliki harapan/Visi yaitu “Terwujudnya Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Maju, Bermutu, Berkarakter dan Berdaya Saing dalam Kebersamaan Tahun 2025.”

Maju :
Mengandung pengertian terwujudnya kondisi Untirta yang mengalami pertumbuhan, peningkatan dan perubahan secara berkelanjutan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat , daya dukung sumber daya dan manajemen serta kerjasama kemitraan.
Bermutu :
Mengandung pengertian tercapainya kualitas layanan yang memberikan kepuasan kepada pelanggan, lulusan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang menguasai Iptek (hard skill) dan , mampu berkolaborasi dan membangun jejaring (networking) dan berkomunkasi atau soft skill menuju kemajuan bangsa, peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
Berdayasaing :
Mengandung pengertian terwujudnya suatu dorongan pada diri pendidik (dosen, tenaga kependidikan dan lulusan untuk memenangkan suatu persaingan (kompetisi), lebih berprestasi, memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, berupaya lebih baik dari yang lain, tahan menghadapi berbagai kondisi, hambatan dan tantangan serta mampu beradaptasi dengan lingkungan.
Berkarakter :
Mengandung arti tercapainya tenaga pendidik dan kependidikan serta lulusan universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang menguasai Iptek dengan menjunjung tinggi Kejujuran, Amanah, Berwibawa, Adil, Religius dan Akuntabel (JAWARA).
Kebersamaan :
Dalam mewujudkan misi Untirta perlu terbangun komunikasi kerja di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa lebih mengutamakan semangat gotong royong, kolegial, saling pengertian, saling menghargai dan saling menghormati, sebagai sebuah tim kerja yang menjunjung tinggi solidaritas dan soliditas. Hal ini meniscayakan seluruh komponen Untirta mulai dari level teratas sampai dengan level terbawah bersama-sama berkomitmen memberikan karya terbaiknya demi mewujudkan pelayanan terbaik dan prima kepada pemangku kepentingan.

2.      Apa yang dapat saya ketahui (what can I know) ?
Hal yang dapat saya ketahui tentang Universitas Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia, Untirta berada di provinsi banten dan merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri di banten. Sedangkan yang saya ketahui tentang BK (Bimbingan dan Konseling) adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya.

3.      Apa yang seyogyanya saya lakukan (what should I do) ?
Sebagai mahasiswa UNTIRTA yang seyogyanya saya lakukan adalah belajar lebih keras untuk mencapai cita – cita yang saya impikan dan menjadi orang lebih baik lagi dari sebelumnya dan mematuhi aturan – aturan yang telah dibuat untuk mencapai visi yang telah ada.

4.      Siapakah manusia itu (what is man) ?
Manusia adalah makhluk sosial sekaligus makhluk individu, sebagai mahkluk sosial manusia tidak mungkin bisa hidup sendiri, karena pada dasarnya manusia membutuhkan orang  lain dari manusia itu lahir sampai manusia itu mati.
Manusia adalah makhluk istimewa yang diciptakan Tuhan karena memiliki perasaan dan akal budi. Melalui perasaan dan akal manusia dapat hidup dengan apa yang ada tempat dimana dia hidup.
Dan dapat  membedakan  mana yang baik untuk dirinya dan mana yang buruk untuk dirinya.


Rabu, 05 Oktober 2016

Perang Romawi–Persia

Perang Romawi–Persia adalah serangkaian konflik antara Romawi melawan dua kekaisaran Iranik yang berturut-turut; Parthia dan Sassaniyah. Hubungan antara Kekaisaran Parthia dan Republik Romawi dimulai pada tahun 92 SM; peperangan dimulai ketika masa akhir Republik Romawi dan terus berlanjut ketika Kekaisaran Romawi melawan Kekaisaran Sassaniyah. Konflik ini berakhir ketika munculnya invasi Muslim Arab, yang menghantam Sassaniyah serta Kekaisaran Romawi Timur dengan dampak yang sangat menghancurkan tidak lama setelah Romawi dan Sassaniyah berhenti berperang.
Meskipun peperangan antara Romawi dan Parthia/Sassaniyah berlangsung selama tujuh abad, garis depan kedua pihak cenderung tetap stabil. Tarik-menarik berlangsung: kota, benteng, dan provinsi terus-menerus diserang, ditaklukkan, dihancurkan, dan dipindahtangankan. Kedua belah pihak tidak memiliki kekuatan logistik dan tenaga manusia untuk menghadapi kampanye yang panjang dan jauh di luar perbatasan mereka, dan
kedua belah pihak tidak mampu melaju terlalu jauh tanpa mengambil risiko membuat garis depan menjadi terlalu tipis. Kedua pihak memang melakukan penaklukan di luar perbatasan masing-masing, namun keseimbangan selalu kembali seperti semula. Garus kebuntuan bergeser pada abad ke-2 M: batasnya awalnya adalah di sepanjang Efrat; batas baru ada di timur, atau kemudian di timur laut, di seberang Mesopotamia sampai Tigris utara. Ada pula beberapa pergeseran penting lebih jauh di utara, yakni di Armenia dan Kaukasus.
Penghabisan sumber daya selama Perang Romawi–Persia pada akhirnya berujung bencana pada kedua Kekaisaran itu. Peperangan yang berkepanjangan dan meningkat pada abad ke-7 dan ke-6 SM menyebabkan kedua pihak menjadi lemah dan rentan ketika terjadi kebangkitan dan ekspansi yang tiba-tiba dari Kekhalifahan Muslim Arab, yang pasukannya menginvasi kedua kekaisaran itu hanya beberapa tahun setelah Perang Romawi–Persia berakhir. Memanfaatkan keadaan mereka yang melemah, pasukan Muslim Arab dengan cepat menaklukkan keseluruhan Kekaisaran Sassaniyah. Pasukan Arab juga merampas wilayah Kekaisaran Romawi Timur yang ada di Levant, Kaukasus, Mesir, dan Afrika Utara. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar Kekaisaran Romawi Timur berhasil dikuasai oleh Muslim.

Latar Belakang

Romawi (ungu), Parthia (kuning) dan Seleukia (biru) pada 200 SM. Romawi dan Parthia menginvasi wilayah kekuasaan Seleukia, dan keduanya kemudian menjadi negara terkuat di Asia barat.
Menurut James Howard-Johnston, "sejak abad ke-3 SM hingga abad ke-7 M, pemain yang bersaing [di Timur] adalah pihak yang kuat dengan ambisi besar, yang mampu mendirikan dan mengamankan wilayah yang melampaui daerah-daerah yang terbagi-bagi". Romawi dan Parthia mulai melakukan kontak melalui penaklukan masing-masing terhadap Kekaisaran Seleukia. Selama abad ke-3 SM, orang-orang Parthia mulai bermigrasi dari stepa Asia Tengah ke Iran utara. Meskipun dikuasai untuk sementara waktu oleh Seleukia, pada abad ke-2 SM mereka berhasil bebas dan mendirikan negara merdeka yang secara perlahan-lahan meluas, menaklukkan Persia dan Mesopotamia. Dipimpin oleh Dinasti Arcasiyah, Parthia menghalau beberapa usaha Seleukia untuk merebut kembali bekas wilayah kekausaan mereka, dan Parthia malah terus memperluas kekuasaan mereka sampai ke India (lihat Kerajaan India-Parthia). Sementara itu Romawi mengusir Seleukia dari wilayah kekuasaan mereka di Anatolia pada awal abad ke-2 SM, setelah mengalahkan Antiokhos III yang Agung pada Pertempuran Thermopylae dan Pertempuran Magnesia. Pada akhirnya, pada tahun 64 SM Pompeius menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Seleukia di Suriah, memusnahkan negara tersebut dan memajukan batas timur Romawi sampai ke Efrat, yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Parthia. 


Klimaks
Pada 602 M pasukan Romawi yang sedang melakukan kampanye militer di Balkan memberontak di bawah pimpinan Phocas, yang kemudian berhasil merebut takhta dan membunuh Mauricius beserta keluarganya. Khosrau II memanfaatkan pembunuhan itu sebagai pembenaran untuk dapat kembali menyerang Romawi. Pada awal perang, Persia menikmati kesuksesan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka dibantu oleh siasat Khosrau yang menggunakan seseorang yang berpura-pura sebagai putra Mauricius, juga oleh pemberontakan terhadap Phocas yang dipimpin oleh seorang jenderal Romawi, Narses. Pada 603 M Khosrau mengalahkan dan membunuh jenderal Romawi, Germanus, di Mesopotamia dan kemudian mengepung Dara. Meskipun pasukan bantuan Romawi datang dari Eropa, Khosrau kembali memperoleh kemenangan lainnya pada 604 M, sementara Dara takluk setelah dikepung selama sembilan bulan. Selama tahun-tahun berikutnya, satu demi satu kota-kota benteng di Mesopotamia takluk setelah dikepung oleh Persia. Pada saat yang sama, Persia juga meraih kemenangan di Armenia dan secara sistematis menguasai garnisun Romawi di Kaukasus.
 
Koin perak Romawi akhir yang bertuliskan kata-kata Deus adiuta Romanis.
Phocas digulingkan pada 610 M oleh Heraclius, yang berlayar ke Konstantinopel dari Karthago. Pada saat yang sama Persia telah menyelesaikan penaklukan mereka di Mesopotamia dan Kaukasus, dan pada 611 M mereka menyerbu Suriah dan memasuki Anatolia, serta menduduki Caesarea. Setelah mengusir Persia dari Anatolia pada 612 M, Heraclis melancarkan serangan balasan ke Suriah pada 613 M. Dia secara telak dikalahkan di dekat Antiokhia oleh Shahrbaraz dan Shahin dan dengan demikian posisi Romawi pun semakin rawan. Selama beberapa dekade berikutnya, Persia berhasil menaklukkan Palestina dan Mesir, serta meluluhlantakkan Anatolia. Sementara itu, suku Avar dan bangsa Slav mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menyerbu Balkan, yang pada gilirannya ikut menambah kehancuran pada Kekaisaran Romawi.
Selama masa tersebut, Heraclius berusaha membangun kembali pasukan Romawi. Dia memotong pengeluaran nonmiliter yang tidak penting, mendevaluasi mata uang dan melebur lempeng gereja, dengan dukungan Patriark Sergius, untuk memperoleh dana yang dibutuhkan untuk melanjutkan peperangan. Pada 622 M, Heraclius berangkat dari Konstantinopel, memercayakan kota kepada Sergius dan jenderal Bonus sebagai wali anaknya. Dia menghimpun pasukannya di Asia Kecil dan, setelah melakukan latihan untuk meningkatkan moral mereka, dia melancarkan serangan balasan, yang mengambil ciri perang suci. Di Kaukasus dia mengalahkan pasukan Arab sekutu Persia, dan kemudian meraih kemenangan atas Persia di bawah Shahrbaraz. Menyusul masa tenang pada 623 M, ketika Heraclius merundingkan kesepakatan damai dengan suku Avar, dia melanjutkan kampanyenya di Timur pada 624 M dan mengusir pasukan pimpinan Khosrau di Ganzak, Atropatene. Pada 625 M, dia mengalahkan jenderal Shahrbaraz, Shahin dan Shahraplakan di Armenia, dan dalam sebuah serangan kejutan pada musim dingin pada tahun yang sama dia menggempur markas Shahrbaraz dan menyerang pasukannya dalam bilet musim dingin mereka. Didukung oleh pasukan Persia pimpinan Shahrbaraz, suku Avar dan Slav mencoba mengepung Konstantinopel pada 626 namun gagal, sementara pasukan Persia kedua di bawah Shahin kembali menderita kekalahan di tangan saudara Heraclius, Theodore.
Sementara itu, Heraclius membentuk persekutuan dengan suku Turk, yang mengambil keuntungan ketika kekuatan Persia melemah. Suku Turk memorak-perandakan wilayah Persia di Kaukasus. Pada akhir 627 M, Heraclius melancarkan serangan musim dingin ke Mesopotamia, di sana, meskipun kontingen Turk tidak mau ikut menyerang, Heraclius tetap dapat mengalahkan Persia dalam Pertempuran Nineweh. Dia terus bergerak ke selatan di sepanjang Tigris dan menjarah istana agung Khosrau di Dastagird. Dia sebenarnya hendak menyerang Ktesiphon juga namun gagal karena jembatan di Kanal Nahrawan dihancurkan. Karena terus mengalami kekalahan, Khosrau digulingkan dan dibunuh dalam sebuah kudeta oleh putranya sendiri Kavadh II, yang langsung saja meminta perdamaian. Supaya dapat berdamai, Kavadh bersedia menarik pasukan Persia dari semua wilayah yang sebelumnya mereka rebut. Heraclius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem dengan perayaan yang megah pada 629.


Akibat
Dampak yang menghancurkan dari perang terakhir ini, menambah efek kumulatif dari konflik seabad yang hampir tanpa henti, membuat kedua kekaisaran menjadi sangat lemah. Ketika Kavadh II meninggal hanya beberapa bulan setelah naik takhta, Persia dilanda kekacauan dinasti dan perang saudara selama beberapa tahun. Sassaniyah menjadi makin lemah dengan adanya penurunan dalam bidang ekonomi, pajak yang berat untuk membiayai kampanye Khosrau II, kerusuhan agama, dan meningkatnya kekuasaan tuan tanah provinsi. Kekaisaran Romawi juga sangat terpengaruh, dengan cadangan keuangannya terkuras oleh perang, dan Balkan kini sebagian besar dikuasai oleh bangsa Slav. Selain itu, Anatolia juga porak-poranda akibat invasi berulang oleh Persia; kekuasaan Romawi di wilayah yang baru saja diperolehnya di Kaukasus, Suriah, Mesopotamia, Palestina, dan Mesir mulai goyah akibat pendudukan Persia selama bertahun-tahun.
Kedua pihak tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri, karena hanya beberapa tahun kemudian mereka diserbu oleh oleh orang Arab, yang telah disatukan oleh Islam. Menurut Howard-Johnston, serbuan orang Arab itu "hanya dapat disamakan dengan tsunami manusia". Menurut George Liska, "Konflik panjang yang tidak perlu antara Bizantium dan Persia telah memberi jalan bagi Islam". Kekaisaran Sassaniyah dengan cepat menyerah terhadap serangan ini dan pada akhirnya benar-benar takluk. Selama Perang Bizantium–Arab, wilayah provinsi timur dan selatan Kekaisaran Romawi, yang sudah lemah, yang baru saja diperoleh kembali oleh Romawi, yaitu Suriah, Armenia, Mesir dan Afrika Utara, pada akhirnya lepas kembali, mengurangi wilayah Romawi menjadi tinggal sebagian Anatolia serta daerah-daerah dan pulau-pulau yang terpencar-pencar di Balkan dan Italia. Wilayah Romawi yang tersisa itu juga terus-menerus diserang, menandai peralihan dari peradaban perkotaan klasik ke bentuk masyarakat abad pertengahan yang lebih bersifat pedesaan. Akan tetapi, tidak seperti Persia, Kekaisaran Romawi (dalam bentuk Kekaisaran Bizantium) berhasil bertahan dari gelombang serangan Arab. Romawi bertahan di sisa-sisa wilayahnya dan dua kali secara telak berhasil memukul mundur pengepungan Arab atas ibu kotanya, yaitu pada 674–678 M dan 717–718 M. Kekaisaran Romawi juga kehilangan wilayahnya di Kreta dan Italia selatan akibat direbut oleh Arab dalam konflik berikutnya, meskipun wilayah-wilayah tersebut berhasil diambil kembali oleh Romawi.

Minggu, 02 Oktober 2016

Perkembangan Sistem Periodik Unsur

1. Pengelompokan Unsur Menurut Lavoiser
Pada tahun 1789, Antoine Lavoiser mengelompokan 33 unsur kimia. Unsur-unsur kimia itu dibagi menjadi menjadi empat kelompok, yaitu gas, Tanah, logam, dan non logam.
Kelemahan teori yang di kemukakan Lavoiser : Pengelompokan masih terlalu umum.
Kelebihan teori Lavoiser : Sudah mengelompok 33 unsur yang ada berdasarkan sifat kimia sehingga bias dijadikan refrensi bagi ilmuan setelahnya.

2. Pengelompokan unsur menurut J.W Dobereiner
Pada tahun 1829, Dobereiner mengelompokan unsur-unsur berdasarkan kemiripan sifat-sifatnya.
ia mengemukakan bahwa massa atom relative stronsium sangat dekat dengan masa rata-rata dari dua unsur lain yang mirip stronsium, yaitu kalsium dan barium dan juga mengemukakan beberapa kelompok unsur lain. Pengelompokan unsur ini disebut triade.
Kelemahan : pengelompokan unsur ini kurang efisien dengan adanya beberapa unsur unsur lain dan tidak termasuk dalam kelompok triade tersebut.
Kelebihan : keteraturan setiap unsur yang sifatnya mirip massa Atom (Ar) unsur yang kedua (tengah) merupakan massa atom rata-rata di masssa  atom  unsur pertama dan  ketiga.

3. Pengelompokan Unsur Menurut Chancourtois
Pada tahun 1862, Chancourtois mengelompokan unsur-unsur kimia berdasarkan kenaikan berat atom. dia merumuskan bahwa berat atom =  7 + 16n; n = urutan unsur.

4. Hukum oktaf Newland
pengelompokan unsur-unsur berdasarkan berdasarkan kenaikan massa atom relative. Newland mengemukakan penemuannya yang disebut hokum oktaf.
Newland menyatakan bahwa sifat-sifat unsur berubah secara teratur.
Disebut hokum oktaf karena sifat-sifat  yang sama berulang pada unsur ke delapan dan pola ini menyerupai oktaf music.
Hukum oktaf berlaku untuk unsur-unsur ringan.
Kelemahan : masih ditemukannya beberapa oktaf yang isinya lebih dari delapan unsur. Dan tidak cocok untuk massa atomnya sangat besar.

5. Sistem Periodik Mendeleev
Pada tahun 1869, Mendeleev menyimpulkan bahwa sifat-sifst adalah fungsi periodic dari masa atom relatifnya. Artinya, unsur-unsur disusun menurut kenaikan massa atom relatifnya, maka sifat tertentu akan berulang secara periodic.

 



Perang Banten



Kemenangannya dengan Sultan Hasanuddin pada tahun 1667, membawa tekad yang lebih besar bagi Belanda untuk menundukkan Banten di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Strategi ini ditempuh, pertama, karena Banten adalah kekuasaan pemerintah Islam yang paling dekat dengan Batavia, dan senantiasa bisa mengancam keamanan dan ketenteraman Belanda di pusat pemerintahannya di Batavia. Kedua, Belanda telah mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan Mataram di bawah pimpinan Sultan Amangkurat I, putera Sultan Agung. 
Persiapan Rakyat dalam Perang Banten
Sebelum konfrontasi bersenjata antara Belanda dengan Banten dibicarakan, sebaiknya diketahui tentang kondisi pemerintahan Islam di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia naik tahta kesultanan Banten pada tahun 1651, menggantikan ayahnya Sultan Abul Fath. Sejak kepemimpinannya, Banten telah naik kembali harkat dan martabatnya, sehingga kehidupan ekonomi berjalan sangat baik, pelabuhan Banten ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang darl Pilipina, Jepang, Cina, India, Persia dan Arab. Islamisasi berjalan dengan sangat mantap, berkat kehadiran seorang ulama besar dari Makasar yang bernama Syeikh Yusuf. Perannya yang besar, dalam peningkatan Islamisasi di Banten; menyebabkan ia diambil menjadi menantu oleh Sultan.


Setelah sepuluh tahun memerintah dengan sukses, Sultan mencoba menyiapkan penggantinya yaitu puteranya Pangeran Ratu untuk memegang kekuasaan di dalam negeri. 

Untuk meningkatkan komunikasi dengan dunia Islam, Sultan pada tahun 1674 telah mengutus puteranya Pangeran Ratu atau dengan sebutan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar untuk melawat ke dunia Islam dan sekaligus naik Haji ke Mekah. Perjalanan ini memakan waktu kurang lebih dua tahun. 

Sekembalinya dari perlawatannya, ia diberikan kembali jabatan sebagai Sultan Muda, yang memerintah dalam negeri Banten, dengan sebutan Sultan Haji. Pergaulannya dengan para pejabat dan pengusaha Belanda yang mempunyai loji di Banten mempengaruhi pandangan hidupnya. Apalagi setelah di ketahui bahwa adiknya pangeran Purbaya, yang mempunyai watak dan akhlaq menyerupai ayahnya dan lebih disenangi oleh para bangsawan Banten, menumbuhkan rasa kecurigaan, jika pengganti ayahnya itu akan beralih kepada adiknya. Perasaan kecurigaan dan ambisinya yang cepat menjadi sultan penuh, mendapat tanggapan positif oleh Belanda, yang sehari-harinya banyak bergaul dengan Sultan Haji. Persekutuan atau lebih tepat persekongkolan antara Sultan Haji dengan Belanda untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya berjalan dengan rapi. 

Peristiwa perompakan atau pembajakan kapal milik Banten yang pulang dari Jawa Timur oleh kapal-kapal Belanda, menimbulkam amarah Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga ia menyatakan perang kepada Belanda. Kebijaksanaan ini ditentang keras oleh anaknya Sultan Haji. Bahkan atas bantuan Belanda pada tanggal 1 Maret 1680, Sultan Haji menurunkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan dan mengangkat dirinya menjadi Sultan Banten. 

Tindakan pemecatan Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan reaksi besar dari para bangsawan Banten di bawah pimpinan Pangeran Purbaya dan para ulama dan rakyat di bawah pimpinan Syeikh Yusuf. Secara spontan rakyat Banten tidak mengakui kepemimpinan Sultan Haji di Banten. Dan sebaliknya mereka berkumpul dihadapan Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyatakan kesetiaannya dan bersedia berperang untuk menurunkan Sultan Haji dan Belanda-Kristen yang menjadi biang keladinya. 

Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil menguasai seluruh Banten, kecuali istana Sultan Haji yang dikelilingi oleh benteng pertahanan yang kuat. Dalam situasi seperti itu, sesuai dengan persekongkolannya dengan Belanda, Sultan Haji meminta bantuan pasukan Belanda, yang berpangkalan tidak jauh dari pantai Banten. Dengan seketika itu pula armada pasukan Beianda-Kristen di bawah pimpinan Laksamana De Saint Martin pada tanggal 8 Maret 1680 mendarat di Banten. Untuk memperkuat pasukannya, Belanda mengirimkan lagi satu armadanya di bawah pimpinan Laksamana Tak. 

Pada tanggal 7 April 1680 pagi-pagi buta pasukan Sultan Ageng di bawah pimpinannya langsung, didampingi oleh anaknya pangeran Purbaya dan menantunya Syeikh Yusuf melakukan serangan umum yang mematikan, terhadap kehidupan Sultan Haji dan pasukan Belanda. Dalam keadaan yang sangat kritis, Laksamana Saint Martin dan Tak menyodorkan 'surat perjanjian' kepada Sultan Haji untuk ditanda-tangani, jika bantuan pasukan Belanda diperlukan oleh Sultan. Untuk mempertahankan hidupnya dan kekuasaannya, Sultan Haji menanda-tangani surat perjanjian yang sangat merugikan itu untuk selama-lamanya. 

Setelah perjanjian selesai ditanda-tangani, mulailah pertempuran dahsyat antara pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dengan pasukan Belanda meledak. Meriam-meriam besar milik pasukan Belanda-Kristen dimuntahkan sebanyak-banyaknya ke tengah-tengah pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga menimbulkan korban yang banyak sekali, gugur menjadi syuhada. Kekuatan senjata yang sangat tidak seimbang, mengakibatkan pasukan Sultan Ageng mengalami kekalahan besar dan akhirnya ia, bersama pasukannya mengundurkan diri ke istananya di Tirtayasa dekat Pontang. 

Tetapi tidak lama kemudian pasukan Belanda mengejarnya dan mengepung kota tersebut. Atas perintah Sultan Ageng, istana di bumi hanguskan, dan ia bersama Pangeran Purbaya dan Syeikh Yusuf serta pasukannya mengundurkan diri ke pedalaman dan membuat markasnya di Lebak (Rangkasbitung). Dari sini Sultan Ageng melancarkan pertempurannya dengan Belanda selama hampir setahun. Tetapi kemudian dalam pertempuran itu kerugian senantiasa diderita oleh pasukan sultan, bahkan Syeikh Yusuf sendiri tertangkap. 

Karena sudah tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan peperangan, akhirnya pada bulan Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa menyerah dan ia ditawan oleh Belanda di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1695. Syeikh Yusuf yang ditangkap oleh Belanda dibuang mula-mula ke Sailan (Ceylon), kemudian ke Afrika Selatan dan di sana ia wafat, sedangkan Pangeran Purbaya meneruskan perjuangannya dengan bergerilya di daerah Periangan, tetapi akhirnya juga menyerah. 

Selanjutnya, isi perjanjian antara Belanda dengan Sultan Haji, yang ditanda-tangani pada saat-saat genting itu berisi antara lain:
  1. Semua hamba-sahaya (budak) milik Belanda yang lari melindungi diri ke Banten, wajib dikembalikan kepada Belanda;
  2. Orang-orang Belanda yang membelot ke Banten dan bekerja untuk kepentingan Banten, seperti Cordeel, wajib diserahkan kepada Belanda;
  3. Banten tidak boleh turut campur tangan dalam masalah-masalah politik di Cirebon dan daerah-daerah lain yang berada di bawah wewenang Mataram;
  4. Segala kerugian yang diakibatkan oleh bajak laut dan sabotase oleh Banten terhadap milik Belanda, wajib ganti rugi di bayar oleh Banten;
  5. Orang-orang asing tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan ekonomi di Banten, kecuali orang-orang Belanda.
Sultan Haji yang mengangkat dirinya menjadi sultan Banten sejak tanggal 1 Maret 1680 sampai wafatnya tahun 1687, pada hakekatnya telah menjadi bawahan Belanda-Kristen dan menyerahkan Banten ke bawah telapak jajahan Belanda dengan menumpahkan darah ayahnya dan saudara-saudaranya sendiri serta rakyat Banten. 

Setelah Sultan Haji wafat pada tahun 1687, ia digantikan oleh puteranya dengan gelar Abu Fadl Muhammad Yahya. Pada tahun 1690, baru tiga tahun ia bertahta, Sultan Yahya wafat pula dan digantikan oleh adiknya Abu Mahasin Zainal Abidin. Gelar sultan setelah kekuasaan Sultan Haji pada dasarnya hanya 'sultan boneka Belanda', sebab yang berkuasa sebenarnya adalah Belanda. 

Selanjutnya berdasarkan keputusan pemerintah Belanda di Nederland, pada tahun 1798 Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang didirikan sejak tahun 1606 dinyatakan bubar; segala hak-milik dan hutang-hutangnya seluruhnya diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Keputusan itu berlaku terhitung mulai tanggal 31 Desember 1799. Selanjutnya daerah kekuasaan VOC di Indonesia dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan dengan nama 'Nederlandsch Indie' (Hindia Belanda). 

Dengan keputusan ini, secara resmi Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda. Untuk mengelola Hiindia Belanda ini, maka pada tanggal 28 Januari 1807 Herman Willem Daendels telah diangkat menjadi Gubernur Jenderal, yang mulai berlaku pada hari keberangkatannya dari Nederland ke Indonesia yaitu pada tanggal 18 Februari 1807. Ia baru tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808 dan pada tanggal 15 Januari 1808 timbang-terima dari Gubernur Jenderal Wiese sebagai pejabat tertinggi VOC terakhir dengan Gubernur Jenderal H.W. Daendels sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda dilangsungkan di Batavia. 

H.W Daendels yang mempunyai tugas utama mengkonsolidir kekuatan militer Hindia Belanda untuk menghadapi kemungkinan serangan Inggeris, maka pekerjaan pertama adalah membuat pelabuhan armada perang yang berpusat di ujung Kulon dan Merak, Banten-Jawa Barat. Untuk melaksanakan proyek ini H.W Daendels telah mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa yang terdiri dari rakyat Banten. Kerja paksa (rodi) yang di luar batas kemanusiaan mengakibatkan tidak kurang 1500 orang telah meninggal dunia. 

Melihat nasib rakyat yang malang ini, Sultan Abdul Nasar dan Patih Wargadireja dari Banten menolak untuk turut serta melanjutkan proyek tersebut dengan jalan tidak lagi mau mengirimkan tenaga kerja ke sana. Penolakan sultan ini menimbulkan amarah Gubernur Jenderal, sehingga ia mengirimkan pasukan militer untuk menangkap Patih Wargadireja; yang dianggap sebagai pimpinan pembangkang, dan memerintahkan sultan untuk memindahkan istananya ke Anyer serta harus mengirimkan setiap hari 1000 tenaga kerja paksa ke proyek-proyek Daendels. 

Pasukan Belanda yang dikirimkan kepada sultan disergap oleh prajurit dan rakyat Banten, kemudian dibunuh semuanya: Benteng Belanda yang ada di sekitar istana dan pegawai-pegawai Belanda yang diperbantukan di istana sultan semuanya diserbu dan dibunuh. Perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa kolonial Belanda yang bersifat putus asa telah berkembang menjadi huru-hara yang menyulut seluruh Banten.
Dalam menghadapi gerakan perlawanan Sultan Banten ini, H.W. Daendels telah mengirimkan pasukan militer yang besar sekali dari Batavia. Ibukota kesultanan Banten diserang habis-habisan dengan jalan pembunuhan massal dan perampokan harta milik rakyat Banten yang seluruhnya dilakukan oleh pasukan Belanda. Patih Wargadireja yang mati tertembak dalam pertempuran itu, jenazahnya dilemparkan ke laut oleh tentara Belanda. Sultan Abdul Nasar ditangkap dan dibuang ke Ambon dan seluruh daerah kesultanan dirampas, serta langsung dalam penguasaan Belanda dari Batavia. Untuk basa-basi putera mahkota diangkat menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Muhammad Aliuddin, yang berkuasa atas sebagian kecil saja dari daerah kesultanan Banten. 

Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh pasukan Belanda tidak menyebabkan matinya ruhul jihad (semangat berjuang) untuk melawan setiap bentuk kezaliman dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh penjajah kafir Kristen. Di bawah pimpinan Pangeran Ahmad kekuatan perlawanan rakyat disusun kembali dan kali ini bukan hanya rakyat Banten tetapi juga dengan mengikut sertakan rakyat Lampung. Potensi rakyat besar yang disertai dengan tekad mati syahid di medan pertempurann perlawanan rakyat Banten-Lampung ini sulit untuk dapat ditumpas oleh Belanda-Kristen. Berulang kali pasukan militer Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk menghadapi perlawanan rakyat Banten-Lampung di bawah pimpinan Pangeran Ahmad senantiasa kandas dan gagal. 

Perlawanan rakyat Banten-Lampung tambah seru, setelah H.W. Daendels membuka proyek jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang Panjangnya kurang lebih 1000 km, dengan tenaga kerja rodi. Para pekerja yang terdiri dari antara lain rakyat Banten dalam proyek jalan raya Anyer-Panarukan itu, tak ubahnya bagaikan budak belian yang pernah dijumpai dalam zaman Romawi kuno. Perlakuan kejam dan sadis oleh pasukan Belanda-Kristen ini, yang memperpanjang proses perlawanan rakyat Banten-Lampung. Walau akhirnya, perlawanan Pangeran Ahmad dengan rakyatnya bisa ditumpas oleh Belanda. 

Kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial Belanda yang dilakukan di Indonesia, selain pandangan hidup yang dimiliki dari ajaran Kristen, yang menganggap umat Islam adalah keturunan palsu-penyembah syaitan dan manusia setengah monyet, juga karena dasar untuk mengatur pemerintahannya hanya berorientasi kepada kekuasaan tanpa hukum. Sebab hukum kolonial zaman VOC berkuasa yang ada hanya di Batavia dengan nama 'Statuta Betawi', yang berlaku untuk daerah 'Bataviase Ommelanden', dengan batas-batasnya:
  1. sebelah barat yaitu sungai Cisadane;
  2. sebelah utara yaitu teluk Batavia;
  3. sebelah timur yaitu aungai Citarum;
  4. sebelah selatan yaitu samudera Hindia.
Kemudian bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba mengadakan kodifikasi dari hukum adat, untuk mengadili penduduk yang tunduk pada hukum adat, misalnya:
  1. Kodifikasi hukum adat Cina yang berlaku bagi orang-orang Cina yang tinggal di sekitar pusat kekuasaan VOC;
  2. Kodifikasi pepakem Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi penduduk bumi putera (penduduk asli) di Cirebon dan sekitarnya;
  3. Kodifikasi Kitab Hukum Mogharraer yang berlaku bagi penduduk bumi putera di Semarang dan sekitarnya;
  4. Kodifikasi hukum adat Bone dan Goa, yang berlaku bagi penduduk bumi putera Bone dan Goa.
Dari fakta-fakta tentang hukum positif yang digambarkan di atas jelas bahwa penguasa VOC sebagai penguasa kolonial dalam mengatur daerah jajahannya (Indonesia) dari sejak tahun 1606 sampai dengan tahun 1798 semata-mata berdasarkan 'kekuasaan' dan bukan berdasarkan hukum. 

Begitu pula penguasa Hindia Belanda yang mewarisi Indonesia sebagai daerah jajahan dari VOC tidak mendasarkan pemerintahannya dengan hukum, tetapi semata-mata berdasarkan kepentingan kekuasaan. Sebab baru pada tanggal 16 Mei 1846 penguasa Hindia Belanda melalui Keputusan Raja Belanda di Nederland telah mengeluarkan pengumuman Pengaturan Baru Tata Hukum di Indonesia, yang dimuat di dalam STB 1847, No. 23. 

Pada saat berlakunya 'Tata Hukum Baru' itu maka terhapuslah ketentuan Hukum Belanda Kuno dan Hukum Romawi; demikian juga segala peraturan dengan nama 'verordeningen, reglementen, publication, ordonansien, instruksien, plakkaten, statuten, costumen; dan pada umumnya segala peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang di Indonesia mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak tegas dipertahankan untuk seluruh Indonesia atau sebagiannya. 

Pada pasal 1 dari keputusan Raja Belanda itu, mengatur antara lain tentang:
  1. Ketentuan umum tentang perundang-undangan;
  2. Peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijak-sanaan pengadilan;
  3. Kitab Hukum Perdata;
  4. Kitab Hukum Dagang.
Sedangkan pengaturan tentang Hukum Pidana termuat dalam pasal 8 dari keputusan raja tersebut di atas.
Tetapi penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru dapat direalisasikan pada tahun 1886, di mana pada waktu itu negeri Belanda telah membuat Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri yang bernama 'Nederlandsch Wetboek van Strafrecht'. 

Bagi Indonesia yang menjadi daerah jajahan Belanda dengan Hindia Belanda sebagai penguasanya, waktu itu dibuatkan pula Kitab Undang-Undang Hukum Pidana guna masing-masing golongan sendiri-sendiri, yaitu:
  1. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Koninklijk Besluit tertanggal 10 Februari 1886; berisi mengenai tindak kejahatan saja;
  2. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie untuk golongan penduduk bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan Ordonansi 6 Mei 1872, berisi hanya mengenai tindak kejahatan saja;
  3. Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan penduduk Eropa, ditetapkan dengan Ordonansi tertanggal 15 Juni 1872, yang berisi hanya tentang tindak pelanggaran saja;
  4. Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan bumi putera dan timur asing, ditetapkan dengan ordonansi tertanggal 15 Oktober 1915.
Uraian historis tentang hukum positif yang digunakan oleh penguasa kolonial Hindia Belanda di Indonesia; baru secara formal diatur pada tahun 1846, yang pelaksanaannya baru bisa dilaksanakan pada tahun 1886. Dengan demikian penguasa Hindia Belanda yang mengambil-alih kekuasaan VOC pada tahun 1799 dan secara efektif baru berjalan sejak Januari 1808, dengan Gubernur Jenderal Daendels sebagai penguasa tertingginya, maka roda pemerintahan kolonial Belanda diatur semata-mata berdasarkan kekuasaan sampai pada tahun 1886. 

Oleh karena itu hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia selama hampir 100 tahun Hindia Belanda berkuasa, senantiasa tergantung pada selera dan keinginan penguasa kolonial. Nilai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk seluruhnya tergantung kepada pertimbangan akal dan hawa nafsu penguasa kolonial Belanda. Kriteria mengenai benar dan salah, adil dan zalim, baik dan buruk sepenuhnya kembali kepada benak dan perut penguasa kolonial Belanda. Dengan kata lain, hampir satu abad penguasa Hindia Belanda berkuasa di Indonesia (dari 1799-1886) hukum yang berlaku adalah hukum rimba. 

Kekejaman dan kebiadaban yang pola contohnya telah diberikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda H.W. Daendels adalah merupakan pola kekuasaan Hukum rimba yang diwarisi turun-menurun oleh penguasa kolonial Belanda sampai mereka angkat kaki dari Indonesia pada tahun 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia. 

Kekejaman dan kebiadaban yang tak terperikan itu, yang melahirkan perlawanan umat Islam sepanjang masa, dalam periode kekuasaan kolonial Belanda